Rabu, 15 Februari 2012

Mengais Asa yang Tertunda...

Awalnya saya sama sekali tidak suka menulis. Pelajaran bahasa Indonesiapun bagi saya merupakan pelajaran yang sangat susah. Karena pelajaran satu ini lebih cenderung mengeksplorasi kemampuan menulis siswa. Sedangkan saya membuat satu kalimatpun membutuhkan waktu bermenit-menit. Apalagi kalau diminta untuk menulis puisi atau bahkan sebuah karangan bebas. Jangan tanya saya pasti membutuhkan waktu berjam-jam. Buntu, tidak ada ide. Mending saya disuruh mengerjakan 100 soal Matematika daripada mengarang. Hi3... parah deh pokoknya.


Kemampuan menulis saya yang payah ini berlanjut sampai SMU. Sampai suatu ketika saya dipertemukan dengan muslimah yang membantu saya menunjukkan kebenaran Islam. Ternyata Islam yang selama ini saya pahami salah. Dulu saya mengira Islam itu ya cukup dengan rajin sholat, mengaji, puasa, zakat, dan ritual-ritual ibadah lainnya. Ternyata Islam itu juga harus diterapkan menjadi sebuah sistem dalam kehidupan. Lho kok jadi ngomongin Islam...??? hi3... maksudnya semenjak itulah saya ingin menyebarkan ilmu yang sudah saya dapatkan mengenai Islam melalui tulisan. Dan di lain pihak memang kami dianjurkan mengirim tulisan boleh berupa opini ataupun surat pembaca ke media massa setiap bulannya. Wah mau tidak mau saya harus mulai menulis. Mulai saat ini. Walaupun awalnya sebuah keterpaksaan.


Tema pendidikan sepertinya yang saya tulis waktu itu untuk surat pembaca karena memang momennya pas dengan masa-masa kelulusan siswa. Draft pertama saya serahkan ke senior dan tahukah kawan hasilnya seperti apa...??? tulisan saya penuh coretan bahkan tulisan asli saya banyak yang ketutup coretan-coretan. Hadehhh.... . Segera saya perbaiki draft saya dan segera saya kirimkan ke media lokal karena takut kehilangan momen. Saat itu saya masih menggunakan mesin ketik. Ke rental takut... maklum gaptek akut. Alhamdulillah surat pembaca saya dimuat di koran lokal tepat menjelang kelulusan saya. Yang jelas tidak mendapatkan honor. Namanya juga Surat Pembaca. Tapi setidaknya itu memacu saya untuk belajar menulis.


“Ndri menang... “, Kata teman saya. Alhamdulillah resensi buku “Jangan jadi bebek” karya O. Sholihin yang saya ikutkan lomba menulis resensi di kampus menang. Sebagai imbalannya uang hadiah sebesar Rp 75.000,- pun berpindah ke tangan saya. Uang tersebut langsung saya belikan tiket pulang kampung. Lumayan masih ada sisa. Pikiran saya saat itu mungkin lomba menulis resensi ini hanya segelintir yang ikut berpartisipasi. Jadilah dengan terpaksa juri memilih naskah saya sebagai pemenang karena tidak ada naskah lain yang masuk. Mungkin...


Saya semakin rajin menulis ketika memasuki masa-masa magang. Sekolah Tinggi Kedinasan yang saya ikuti mewajibkan mahasiswanya magang sebelum penempatan kerja. Kebetulan tempat saya magang tidak begitu banyak pekerjaan. Sering seharian saya hanya bengong menonton TV. Daripada bengong terus malah kesambet the invisible mending saya coret-coret menumpahkan pikiran yang ada di otak. Motivasi saya hanya untuk bagaimana supaya opini saya ini tersebar. Biasanya yang saya tulis mengenai bobroknya sistem pemerintahan yang ada. Pokoknya mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah. Keren dong...??? tidak... bahasa yang saya gunakan tentu sangat sederhana. Saya tidak peduli harus menggunakan bahasa yang seperti apa. Lagian saya hanya berbekal sebuah buletin yang saya terima tiap minggu kemudian saya ringkas isinya memakai bahasa sendiri. Tentu saja selalu saya bubuhkan sumber tulisan. Namanya juga hanya belajar sendiri, tidak ada guru atau senior yang mengarahkan seharusnya tulisan saya itu seperti apa. Hanya berbekal pede saja. Kirim saja tulisan saya di surat pembaca koran Sindo. Entah dimuat atau tidak yang penting saya sudah kirim. Selain itu saya juga mengincar sebuah komputer di kantor tempat saya magang yang bisa jaringan intranet. Biasanya ketika para pegawai laki-laki sholat jum’at dan pegawai perempuan istirahat makan, saya minta izin untuk menggunakan komputer itu. Senangnya bukan kepalang. Segera saya ketik cepat-cepat tulisan yang memang sudah saya siapkan sebelumnya dan langsung dikirim ke sebuah forum diskusi. Fffiuhhh... lega kalau tulisan sudah terkirim. Tentu saja tulisan saya yang mengkritik kebijakan pemerintah langsung dicaci maki oleh hampir sebagian besar anggota forum diskusi yang memang semuanya adalah abdi negara. Cuek. Yang penting saya sudah menyebarkan opini yang menurut saya benar.


Ketika saya sudah penempatan dan mulai bekerja, saya berkenalan dengan blog publik yang ada di jaringan intranet (*di kantor belum bisa jaringan internet) namanya Ciblog. Saya tertarik. Mulailah saya belajar membuat blog. Bagaimana membuat tulisan bisa kerlap-kerlip, tulisan bisa jalan-jalan. Blog saya sangat sederhana tampilannya tanpa ada tambahan pernak-pernik lainnya. Sedangkan blog-blog yang lain penampilannya saja sangat menarik. Saya membuat 2 akun blog di Ciblog saat itu. Blog pertama berisi curcol-curcol saja. Pokoknya cerita-cerita ringan saja. Sedangkan blog yang kedua berisi tulisan-tulisan yang mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah. Kekonsistenan saya untuk menulis tulisan yang aktual (*walaupun kontroversial) mengakibatkan saya masuk nominasi blog yang aktual (*aduhhh saya lupa masuk nominasi apa ya... hi3...) versi blog Abunawas (salah satu anggota Ciblog yang tiap tahun mengadakan penjurian blog) walaupun tidak menang. Padahal tulisan saya ecek-ecek dan asal nyeplos saja.


Saya vakum menulis ketika blog publik yang berkeliaran di ranah jaringan intranet itu dicabut peredarannya (Kayak narkoba saja...). Wah banyak tulisan-tulisan saya yang raib. Karena saat itu saya belum memiliki komputer pribadi. Masih menumpang kantor euuyyy... . Benar-benar gairah saya menulis menguap begitu saja. Jaringan internet tidak bisa, intranet tidak ada Ciblog bagaikan makan sop tanpa garam (hambar gituu... ). Biasanya tiap malam saya berpikir apa ya yang mau saya tulis di Ciblog besok. Ada sebenarnya sebuah Forum Diskusi yang dulu sering saya ikuti semasa magang. Tapi saya merasa suasananya sudah berbeda, sudah tidak ramah lagi seperti dulu. Sering tulisan-tulisan saya yang memang mengkritik pemerintah dilock sama adminnya dengan alasan tulisan saya bermuatan politik. Tetapi anehnya banyak tulisan-tulisan yang isinya malah kampanye terhadap partai politik tertentu. Saya marah. Saya sampaikan perlakuan tidak adil yang saya terima. Tetapi adminnya tutup kuping. Tulisan saya masih saja dilock sedangkan mereka bebas berkampanye. Semakin malaslah saya. Mau membuat blog di internet tidak tahu caranya. Ya sudah selama sekitar dua tahun saya tidak berhasil membuat sebuah tulisan, walaupun hanya sekedar cerita ringan berisi curcol. Parah...


Entah bagaimana awalnya, akhirnya saya berkenalan dengan “Multiply”. Sebuah blog yang mencakup juga jejaring sosial. Karena tertarik dengan buku baru yang dipromosikan oleh salah satu member multiply, buku “Oyako No Hanashi” karya mbak Aan Wulandari, saya berkenalan dengan pemilik akun “diansya” ini. Beliau ramah dan tak segan-segan menjawab semua pertanyaan saya. Berkeliaranlah saya menjelajahi isi blog mbak Aan. Isinya seputar celoteh kedua anaknya, resensi buku yang entah sudah keberapa kali dimuat di media, tulisan-tulisan yang dimuat di media, dan buku-buku karyanya. Subhanallah... produktif banget. Ingin sekali suatu saat saya bisa menulis buku. Mulailah saya tertatih-tatih menuliskan kata demi kata di blog. Hanya berisi curcol-curcol saja sih sebenarnya. Tapi itu sudah cukup membangkitkan semangat menulis saya. Walaupun awalnya berat, tapi saya mencoba menjalaninya. Karena memang saya ingin belajar menulis. Saya ingin seperti dulu yang rajin menulis opini-opini singkat seputar kebijakan pemerintah. Tapi sebagai langkah awal saya menulis pengalaman sehari-hari dulu. Belajar menuliskan apa saja yang sedang berkeliaran di otak. Mengikuti lomba-lomba kepenulisan yang ternyata banyak sekali juga saya gunakan sebagai ajang pembelajaran. Tidak peduli dengan hasil penjurian yang mengakibatkan naskah saya tidak lolos. Yang penting menulis... menulis... dan menulis... apapun itu. Dan saya yakin impian saya menjadi penulis suatu saat nanti akan terwujud asalkan saya berusaha untuk mewujudkannya. Sebuah kalimat yang menginspirasi saya adalah kata-kata dari Arai (-Sang Pemimpi-) “Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu... “. Saya mulai membuka mata dan berani bermimpi. Ganbatte...!!!!

1 komentar: